my school
ibnu hajar boarding school
ihbs tv khutbah jum'at ust.kurnaedi part 1
ihbstv2all_ id siswa 7A Firas Hanafi.
sejarah badak jawa
Badak jawa atau Badak bercula-satu kecil (Rhinoceros sondaicus) adalah anggota famili Rhinocerotidae dan satu dari lima badak yang masih ada. Badak ini masuk ke genus yang sama dengan badak india dan memiliki kulit bermosaik yang menyerupai baju baja. Badak ini memiliki panjang 3,1–3,2 m dan tinggi 1,4–1,7 m. Badak ini lebih kecil daripada badak india dan lebih dekat dalam besar tubuh dengan badak hitam. Ukuran culanya biasanya lebih sedikit daripada 20 cm, lebih kecil daripada cula spesies badak lainnya.
Badak ini pernah menjadi salah satu badak di Asia yang paling banyak menyebar. Meski disebut "badak jawa", binatang ini tidak terbatas hidup diPulau Jawa saja, tapi di seluruh Nusantara, sepanjang Asia Tenggara dan di India serta Tiongkok. Spesies ini kini statusnya sangat kritis, dengan hanya sedikit populasi yang ditemukan di alam bebas, dan tidak ada di kebun binatang. Badak ini kemungkinan adalah mamalia terlangka di bumi.[4] Populasi 40-50 badak hidup di Taman Nasional Ujung Kulon di pulau Jawa, Indonesia. Populasi badak Jawa di alam bebas lainnya berada di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam dengan perkiraan populasi tidak lebih dari delapan pada tahun 2007. Berkurangnya populasi badak jawa diakibatkan oleh perburuan untuk diambil culanya, yang sangat berharga pada pengobatan tradisional Tiongkok, dengan harga sebesar $30.000 per kilogram di pasar gelap.[4] Berkurangnya populasi badak ini juga disebabkan oleh kehilangan habitat, yang terutama diakibatkan oleh perang, seperti perang Vietnam di Asia Tenggara juga menyebabkan berkurangnya populasi badak Jawa dan menghalangi pemulihan.[5] Tempat yang tersisa hanya berada di dua daerah yang dilindungi, tetapi badak jawa masih berada pada risiko diburu, peka terhadap penyakit dan menciutnya keragaman genetik menyebabkannya terganggu dalam berkembangbiak. WWF Indonesia mengusahakan untuk mengembangkan kedua bagi badak jawa karena jika terjadi serangan penyakit atau bencana alam seperti tsunami, letusan gunung berapi Krakatau dan gempa bumi, populasi badak jawa akan langsung punah.[6] Selain itu, karena invasi langkap (arenga) dan kompetisi dengan banteng untuk ruang dan sumber, maka populasinya semakin terdesak.[6] Kawasan yang diidentifikasikan aman dan relatif dekat adalah Taman Nasional Halimun di Gunung Salak, Jawa Barat yang pernah menjadi habitat badak Jawa.[6]
Badak jawa dapat hidup selama 30-45 tahun di alam bebas. Badak ini hidup di hutan hujan dataran rendah, padang rumput basah dan daerah daratan banjir besar. Badak jawa kebanyakan bersifat tenang, kecuali untuk masa kenal-mengenal dan membesarkan anak, walaupun suatu kelompok kadang-kadang dapat berkumpul di dekat kubangan dan tempat mendapatkan mineral. Badak dewasa tidak memiliki hewan pemangsa sebagai musuh. Badak jawa biasanya menghindari manusia, tetapi akan menyerang manusia jika merasa diganggu. Peneliti dan pelindung alam jarang meneliti binatang itu secara langsung karena kelangkaan mereka dan adanya bahaya mengganggu sebuah spesies terancam. Peneliti menggunakan kamera dan sampel kotoran untuk mengukur kesehatan dan tingkah laku mereka. Badak Jawa lebih sedikit dipelajari daripada spesies badak lainnya.
Identifikasi
Elang yang bertubuh sedang sampai besar, langsing, dengan panjang tubuh antara 60-70 cm (dari ujung paruh hingga ujung ekor).
Kepala berwarna coklat kemerahan (kadru), dengan jambul yang tinggi menonjol (2-4 bulu, panjang hingga 12 cm) dan tengkuk yang coklat kekuningan (kadang nampak keemasan bila terkena sinar matahari). Jambul hitam dengan ujung putih; mahkota dan kumis berwarna hitam, sedangkan punggung dan sayap coklat gelap. Kerongkongan keputihan dengan garis (sebetulnya garis-garis) hitam membujur di tengahnya. Ke bawah, ke arah dada, coret-coret hitam menyebar di atas warna kuning kecoklatan pucat, yang pada akhirnya di sebelah bawah lagi berubah menjadi pola garis (coret-coret) rapat melintang merah sawomatang sampai kecoklatan di atas warna pucat keputihan bulu-bulu perut dan kaki. Bulu pada kaki menutup tungkai hingga dekat ke pangkal jari. Ekor kecoklatan dengan empat garis gelap dan lebar melintang yang nampak jelas di sisi bawah, ujung ekor bergaris putih tipis. Betina berwarna serupa, sedikit lebih besar.
Iris mata kuning atau kecoklatan; paruh kehitaman; sera (daging di pangkal paruh) kekuningan; kaki (jari) kekuningan. Burung muda dengan kepala, leher dan sisi bawah tubuh berwarna coklat kayu manis terang, tanpa coretan atau garis-garis.[2]
Ketika terbang, elang Jawa serupa dengan elang brontok (Nisaetus cirrhatus) bentuk terang, namun cenderung nampak lebih kecoklatan, dengan perut terlihat lebih gelap, serta berukuran sedikit lebih kecil.
Bunyi nyaring tinggi, berulang-ulang, klii-iiw atau ii-iiiw, bervariasi antara satu hingga tiga suku kata. Atau bunyi bernada tinggi dan cepat kli-kli-kli-kli-kli. Sedikit banyak, suaranya ini mirip dengan suara elang brontok meski perbedaannya cukup jelas dalam nadanya.[3]
[sunting]Penyebaran, ekologi dan konservasi
Sebaran elang ini terbatas di Pulau Jawa, dari ujung barat (Taman Nasional Ujung Kulon) hingga ujung timur di Semenanjung Blambangan Purwo. Namun demikian penyebarannya kini terbatas di wilayah-wilayah dengan hutan primer dan di daerah perbukitan berhutan pada peralihan dataran rendah dengan pegunungan. Sebagian besar ditemukan di separuh belahan selatan Pulau Jawa. Agaknya burung ini hidup berspesialisasi pada wilayah berlereng. [4]
Elang Jawa menyukai ekosistem hutan hujan tropika yang selalu hijau, di dataran rendah maupun pada tempat-tempat yang lebih tinggi. Mulai dari wilayah dekat pantai seperti di Ujung Kulon dan Meru Betiri, sampai ke hutan-hutan pegunungan bawah dan atas hingga ketinggian 2.200 m dan kadang-kadang 3.000 m dpl.
Pada umumnya tempat tinggal elang jawa sukar untuk dicapai, meski tidak selalu jauh dari lokasi aktivitas manusia. Agaknya burung ini sangat tergantung pada keberadaan hutan primer sebagai tempat hidupnya. Walaupun ditemukan elang yang menggunakan hutan sekunder sebagai tempat berburu dan bersarang, akan tetapi letaknya berdekatan dengan hutan primer yang luas.
Burung pemangsa ini berburu dari tempat bertenggernya di pohon-pohon tinggi dalam hutan. Dengan sigap dan tangkas menyergap aneka mangsanya yang berada di dahan pohon maupun yang di atas tanah, seperti pelbagai jenis reptil, burung-burung sejenis walik, punai, dan bahkanayam kampung. Juga mamalia berukuran kecil sampai sedang seperti tupai dan bajing, kalong, musang, sampai dengan anak monyet.
Masa bertelur tercatat mulai bulan Januari hingga Juni. Sarang berupa tumpukan ranting-ranting berdaun yang disusun tinggi, dibuat di cabang pohon setinggi 20-30 di atas tanah. Telur berjumlah satu butir, yang dierami selama kurang-lebih 47 hari.
Pohon sarang merupakan jenis-jenis pohon hutan yang tinggi, seperti rasamala (Altingia excelsa), pasang (Lithocarpus dan Quercus), tusam (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), dan ki sireum (Eugenia clavimyrtus). Tidak selalu jauh berada di dalam hutan, ada pula sarang-sarang yang ditemukan hanya sejarak 200-300 m dari tempat rekreasi.[3]
Di habitatnya, elang Jawa menyebar jarang-jarang. Sehingga meskipun luas daerah agihannya, total jumlahnya hanya sekitar 137-188 pasang burung, atau perkiraan jumlah individu elang ini berkisar antara 600-1.000 ekor.[5] Populasi yang kecil ini menghadapi ancaman besar terhadap kelestariannya, yang disebabkan oleh kehilangan habitat dan eksploitasi jenis. Pembalakan liar dankonversi hutan menjadi lahan pertanian telah menyusutkan tutupan hutan primer di Jawa.[6] Dalam pada itu, elang ini juga terus diburu orang untuk diperjual belikan di pasar gelap sebagai satwa peliharaan. Karena kelangkaannya, memelihara burung ini seolah menjadi kebanggaan tersendiri, dan pada gilirannya menjadikan harga burung ini melambung tinggi.
Mempertimbangkan kecilnya populasi, wilayah agihannya yang terbatas dan tekanan tinggi yang dihadapi itu, organisasi konservasi dunia IUCN memasukkan elang Jawa ke dalam status EN (Endangered, terancam kepunahan). [7] Demikian pula, Pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai hewan yang dilindungi oleh undang-undang.[8]
[sunting]Catatan taksonomis
Sesungguhnya keberadaan elang Jawa telah diketahui sejak sedini tahun 1820, tatkala van Hasselt dan Kuhl mengoleksi dua spesimen burung ini dari kawasan Gunung Salak untuk Museum Leiden, Negeri Belanda. Akan tetapi pada masa itu hingga akhir abad-19, spesimen-spesimen burung ini masih dianggap sebagai jenis elang brontok.
Baru di tahun 1908, atas dasar spesimen koleksi yang dibuat oleh Max Bartels dari Pasir Datar, Sukabumi pada tahun 1907, seorang pakar burung di Negeri Jerman, O. Finsch, mengenalinya sebagai takson yang baru. Ia mengiranya sebagai anak jenis dari Spizaetus kelaarti, sejenis elang yang ada di Sri Lanka. Sampai kemudian pada tahun 1924, Prof. Stresemann memberi nama takson baru tersebut dengan epitet spesifik bartelsi, untuk menghormati Max Bartels di atas, dan memasukkannya sebagai anak jenis elang gunung Spizaetus nipalensis.[3]
Demikianlah, burung ini kemudian dikenal dunia dengan nama ilmiah Spizaetus nipalensis bartelsi, hingga akhirnya pada tahun 1953 D. Amadon mengusulkan untuk menaikkan peringkatnya dan mendudukkannya ke dalam jenis yang tersendiri, Spizaetus bartelsi.[9]
[sunting]
Kisah Selembar Foto Harimau Jawa Tahun 1957
Ini adalah hasil diskusi yang saya ikuti semalam, tentang lebih jauh mengenal harimau jawa. Saya tahu, klaim punah bagi harimau jawa sudah menginternasional. Itulah kenapa di tulisan ini saya tidak hendak memaksa anda (dan ngotot) untuk mempunyai pola pikir yang sama dengan saya dan beberapa rekan pencinta alam bahwa harimau jawa masih ada. Kita bahas yang enteng enteng saja. Seperti kisah selembar foto Harimau Jawa tahun 1957 misalnya. Bagaimana? hehe..
Kisah dibalik selembar foto harimau jawa tahun 1957
Saat anda membuka halaman sebuah mesin pencari (contoh : google) dan mengetikkan kata harimau jawa, maka akan keluar sebuah potret harimau jawa yang sudah tertembak mati. Berikut adalah gambarnya.
Foto di atas bersumber dari seorang mantan sinder dari sebuah perkebunan di eks. Karesidenan Besuki Jawa Timur. Bila kita sedikit lebih mencermati, di sisi pojok kanan atas ada terlihat plat nomor dengan letter P. Itu menandakan kode wilayah kendaraan Jawa bagian timur (eks. Karesidenan Besuki). Memperkuat bahwa foto di atas memang berasal dari Jawa.
Di blog JavanTigerCenter asuhan Mas Didik Raharyono, ada kalimat penutup seperti ini. "Terima kasih kepada Pak Karno karena untuk izin ke saya untuk repro gambar itu". Apa artinya? Artinya adalah foto ini merupakan hasil kerja keras Mas Didik mengadakan pendekatan terhadap orang orang yang memiliki sumber keberadaan harimau jawa. Beliau yang merepro dan mengkajinya. Kita tahu, tidak semudah itu mendapatkan selembar foto harimau jawa (meskipun foto lama).
Kenapa Harimau Jawa ini ditembak mati?
Di sebuah tulisan tentang harimau jawa saya menemukan kata kata (yang dituturkan Pak Karno) seperti ini. “Saya melakukan penembakan terhadap harimau jawa tersebut karena para pekerja penyadap karet merasa ketakutan, sehingga mengganggu produktivitas kerja di Afdeling yang saya bawahi”
Masih menurut keterangan Pak Karno (diceritakan kembali oleh Mas Didik), harimau ini ditembak lantaran telah memakan tiga ekor sapi milik warga sekitar perkebunan. Alhasil, dianggap meresahkan dan harus dibunuh.
Salah seekor kepala sapi yang menjadi korban pecah oleh hantaman telapak tangan harimau jawa. Kepala sapi bisa pecah? Apakah itu tidak mengada ada? Anda bisa melihat lagi foto di atas, membandingkan telapak tangan bangkai harimau jawa tersebut dengan tangan manusia. Dan silahkan memvisualisasikannya sendiri. Inilah salah satu manfaat dari peninggalan foto di atas.
“Besar tapak kaki depan harimau jawa yang saya tembak itu dapat menutupi seluruh wajah saya”. Itu juga masih menurut Pak Karno, sang penembak mati hewan legendaris ini.
Dengan alat apa harimau jawa diburu?
Seperti yang digambarkan oleh foto di atas, ada senapan laras panjang yang tergeletak di samping kanan harimau. Meskipun laras panjang, di beberapa sumber (juga di blog javantigercenter) saya hanya mendapati kata kata pistol. Barangkali, itu adalah sebutan laras panjang di jamannya.
Pak Karno hanya berkesempatan berburu harimau jawa pada tahun 1955 hingga 1963. Kegiatan berburu berhenti sejak 1964 karena senjata/pistol tersebut kembali ke negara. Dari rentang tahun tersebut, Pak Karno mengkoleksi lima harimau jawa lagi. Harimau yang terakhir ditembak oleh Pak Karno adalah di tahun 1963.
Banyak yang bisa kita pelajari (analisis morfometri) dari selembar foto di atas. Seperti panjang ekor, lebar tubuh, pola sidik jidat, karakteristik loreng, hingga moncong hidungnya yang menyempit dan cenderung memanjang.
Kenapa gambar foto di atas berwarna kecoklatan?
Hehe, ini juga ada ceritanya lho. Alkisah dulu (siahaha..) satu satunya kamera terbaik yang bisa dimiliki (maupun dipinjam) oleh pencinta alam hanyalah kamera poket. Dan itu sudah mewah. Editing foto juga tidak sedahsyat sekarang. Mas Didik memperoleh foto ini dari tangan pertama (yaitu Pak Karno) masih berupa warna hitam putih. Lalu Mas Didik merepronya. Hasil repro ini kemudian dipotret kembali (mungkin agar bisa dimasukkan di komputer, entah..) dengan cara menampilkannya di tembok dengan fiwer. Lalu, jepreeet...!!! beginilah hasilnya, hehe..
Nah paranetter, itulah hasil oleh oleh saya dari diskusi semalam bersama tiga orang pembicara. Mas Alfa, Mas Giri dan Mas Didik Raharyono. Ketiganya adalah pencinta, pemerhati dan peneliti Harimau Jawa.
Sebagai penutup, akan saya tuliskan kembali dua poin (dari enam poin) tentang latar belakang penelitian harimau jawa. Saya menukilkannya dari javantigercenter. Terima kasih buat Mas Didik Raharyono atas inspirasi dan kecintaannya.
1. Klaim punah bagi harimau jawa sudah menginternasional, tetapi masyarakat tepi hutan di Jawa masih menginformasikan perjumpaan dengan harimau loreng / jawa. Meskipun begitu belum banyak yang menjadikan informasi ini sebagai bahan kajian riset.
2. Pelaporan perihal pembantaian dan penangkapan harimau jawa masih terjadi, namun tidak ada yang tergerak untuk melakukan usaha-usaha pembelaannya.
Catatan
Seperti yang telah saya janjikan di paragraf pertama, saya tidak akan memaksa anda untuk memiliki kepercayaan yang sama dengan saya bahwa harimau jawa masih ada.
Namun begitu, saya berharap semoga kita semua tidak terburu buru memvonis bahwa harimau jawa sudah punah sebelum kita melakukan pengenalan dan penelitian lebih lanjut.
Kisah dibalik selembar foto harimau jawa tahun 1957
Saat anda membuka halaman sebuah mesin pencari (contoh : google) dan mengetikkan kata harimau jawa, maka akan keluar sebuah potret harimau jawa yang sudah tertembak mati. Berikut adalah gambarnya.
Gambar dari google
Foto di atas bersumber dari seorang mantan sinder dari sebuah perkebunan di eks. Karesidenan Besuki Jawa Timur. Bila kita sedikit lebih mencermati, di sisi pojok kanan atas ada terlihat plat nomor dengan letter P. Itu menandakan kode wilayah kendaraan Jawa bagian timur (eks. Karesidenan Besuki). Memperkuat bahwa foto di atas memang berasal dari Jawa.
Di blog JavanTigerCenter asuhan Mas Didik Raharyono, ada kalimat penutup seperti ini. "Terima kasih kepada Pak Karno karena untuk izin ke saya untuk repro gambar itu". Apa artinya? Artinya adalah foto ini merupakan hasil kerja keras Mas Didik mengadakan pendekatan terhadap orang orang yang memiliki sumber keberadaan harimau jawa. Beliau yang merepro dan mengkajinya. Kita tahu, tidak semudah itu mendapatkan selembar foto harimau jawa (meskipun foto lama).
Kenapa Harimau Jawa ini ditembak mati?
Di sebuah tulisan tentang harimau jawa saya menemukan kata kata (yang dituturkan Pak Karno) seperti ini. “Saya melakukan penembakan terhadap harimau jawa tersebut karena para pekerja penyadap karet merasa ketakutan, sehingga mengganggu produktivitas kerja di Afdeling yang saya bawahi”
Masih menurut keterangan Pak Karno (diceritakan kembali oleh Mas Didik), harimau ini ditembak lantaran telah memakan tiga ekor sapi milik warga sekitar perkebunan. Alhasil, dianggap meresahkan dan harus dibunuh.
Salah seekor kepala sapi yang menjadi korban pecah oleh hantaman telapak tangan harimau jawa. Kepala sapi bisa pecah? Apakah itu tidak mengada ada? Anda bisa melihat lagi foto di atas, membandingkan telapak tangan bangkai harimau jawa tersebut dengan tangan manusia. Dan silahkan memvisualisasikannya sendiri. Inilah salah satu manfaat dari peninggalan foto di atas.
“Besar tapak kaki depan harimau jawa yang saya tembak itu dapat menutupi seluruh wajah saya”. Itu juga masih menurut Pak Karno, sang penembak mati hewan legendaris ini.
Dengan alat apa harimau jawa diburu?
Seperti yang digambarkan oleh foto di atas, ada senapan laras panjang yang tergeletak di samping kanan harimau. Meskipun laras panjang, di beberapa sumber (juga di blog javantigercenter) saya hanya mendapati kata kata pistol. Barangkali, itu adalah sebutan laras panjang di jamannya.
Pak Karno hanya berkesempatan berburu harimau jawa pada tahun 1955 hingga 1963. Kegiatan berburu berhenti sejak 1964 karena senjata/pistol tersebut kembali ke negara. Dari rentang tahun tersebut, Pak Karno mengkoleksi lima harimau jawa lagi. Harimau yang terakhir ditembak oleh Pak Karno adalah di tahun 1963.
Banyak yang bisa kita pelajari (analisis morfometri) dari selembar foto di atas. Seperti panjang ekor, lebar tubuh, pola sidik jidat, karakteristik loreng, hingga moncong hidungnya yang menyempit dan cenderung memanjang.
Kenapa gambar foto di atas berwarna kecoklatan?
Hehe, ini juga ada ceritanya lho. Alkisah dulu (siahaha..) satu satunya kamera terbaik yang bisa dimiliki (maupun dipinjam) oleh pencinta alam hanyalah kamera poket. Dan itu sudah mewah. Editing foto juga tidak sedahsyat sekarang. Mas Didik memperoleh foto ini dari tangan pertama (yaitu Pak Karno) masih berupa warna hitam putih. Lalu Mas Didik merepronya. Hasil repro ini kemudian dipotret kembali (mungkin agar bisa dimasukkan di komputer, entah..) dengan cara menampilkannya di tembok dengan fiwer. Lalu, jepreeet...!!! beginilah hasilnya, hehe..
*******
Nah paranetter, itulah hasil oleh oleh saya dari diskusi semalam bersama tiga orang pembicara. Mas Alfa, Mas Giri dan Mas Didik Raharyono. Ketiganya adalah pencinta, pemerhati dan peneliti Harimau Jawa.
Sebagai penutup, akan saya tuliskan kembali dua poin (dari enam poin) tentang latar belakang penelitian harimau jawa. Saya menukilkannya dari javantigercenter. Terima kasih buat Mas Didik Raharyono atas inspirasi dan kecintaannya.
1. Klaim punah bagi harimau jawa sudah menginternasional, tetapi masyarakat tepi hutan di Jawa masih menginformasikan perjumpaan dengan harimau loreng / jawa. Meskipun begitu belum banyak yang menjadikan informasi ini sebagai bahan kajian riset.
2. Pelaporan perihal pembantaian dan penangkapan harimau jawa masih terjadi, namun tidak ada yang tergerak untuk melakukan usaha-usaha pembelaannya.
Catatan
Seperti yang telah saya janjikan di paragraf pertama, saya tidak akan memaksa anda untuk memiliki kepercayaan yang sama dengan saya bahwa harimau jawa masih ada.
Namun begitu, saya berharap semoga kita semua tidak terburu buru memvonis bahwa harimau jawa sudah punah sebelum kita melakukan pengenalan dan penelitian lebih lanjut.